Wednesday, December 16, 2009

sepulang kantor

Setelah kurang lebih 2 bulan gw bolak balik naek KRL dari dkt rumah ke tanah abang, pagi dan sore menuju malem, baru sekarang gw notice sama pemandangan yg gw liat diluar kaca kereta ini. Dari kemaren gw cemberut kecapean berdiri dan ga dapet tempat duduk, pegel2 (sumpah tp ini ga akan pernah bisa didiskualifikasi dari hidup gw) krn gendong laptoplah, sumpek-sumpekan di kereta, tapi kayanya baru hari ini gw merasa beruntung.

Setidaknya nanti, sesampainya gw di rumah, gw bisa tiduran di kamar gw yg pake ac. Dan pemukiman di sebrang mata gw ini, yg mana yg pake ac? Mungkin 1 atau 2 rumah. Mungkin. Gw sungguh ga yakin. Setidaknya nanti keluar dari kereta, dan ketika gw sampe di depan rumah, gw bisa bernafas lega. Udara yg ada bisa gw hirup dan hembuskan semau gw, dan masih akan bisa dihirup dgn puluhan org lainnya. Sementara di pemukiman yg tadi gw liat (kereta gw udh melaju kencang dr sekitar tanah abang), rasanya udarapun harus berbagi. Gang-gangnya terlalu sempit. Sangat sempit. Dan gw bisa tidur tanpa berisiknya dan getaran lalulalang kereta. Rumah-rumah yg ga layak disebut rumah itu bahkan ga cocok disebut pemukiman. Jahat ya gw? Tapi ini keadaan sosial di jakarta. Di indonesia. Ketimpangan. Gw akuin, gw cuma bisa ngomong, gw sendiri gatau harus berbuat apa dan memulai darimana untuk membantu mereka yang tinggal disitu. Tapi tolong, gw cuma mau membagi penglihatan gw sore ini.

Gimana sih sampai ada lingkungan super kumuh kaya gitu? Jahat lagi ya gw? Gw bingung harus bilang apa. Kenyataannya emang super kumuh. Dan kenyataan pahitnya, ga ada kesempatan dari yg diatas sana, yang bisa menangani pemukiman-pemukiman semacem itu. Mungkin ya, mungkin lagi.. Warga disitu juga udh ga percaya sama aparat, sm yang diatas yang berkuasa dan berwenang. Mungkin ya, mungkin nih.. Aparat dan org2 diatas sana pernah berjanji ttg kehidupan yang layak buat mereka. Tapi janji cuma janji. Mereka akhirnya ga bisa berbuat apa-apa, kecuali bertindak dgn kekerasan, pemaksaan untuk menggusur tempat tinggal kumuh itu. Tega ga tega. Harus tega. Berhubung yang diatas selalu punya kekuasaan dan wewenang, mereka bisa blg macem macem. Bilang, "warga tidak mau kompromi, maka kami harus ambil sikap. Ini tanah negara, ada pemiliknya.. Kami akan memindahkan mereka ke pemukiman baru, atau dibekali uang senilai pemukiman baru jika keberatan dialokasikan." Nyatanya? Bohong lagi, bohong lagi.. Semakin tidak bergunalah UU yg ga boleh ngasih uang ke gelandangan dsb krn gelandangan semakin banyak dan nekat.

Kadang gw sebel juga sih sama warga pendatang yang akhirnya bernasib terlantar dan tinggal asal-asalan kaya gitu. Ga bisa liat tanah kosong sedikit ya kayanya? Dipikir hidup di jakarta (kota) itu gampang? Tolong, jika tidak punya keahlian dan modal, jangan nekat. Rencana punya kerjaan malah dikerjain. Akhirnya bikin tata kota semakin kacau balau. Ya seperti yg tadi saya liat. Rumah dari triplek, mepet sana sini. Buka pintu, selangkah kedepan udah pintu tetangga. Ventilasi ga ada. Ga mungkin berharap ada halaman atau teras, karena 2-3 langkah kedepan udah rel kereta api. Rel kereta api tanpa ada batasan apapun. Sekedar pager pembatas kecil aja, apalagi ada dinding-dinding pembatas.

Apa yang terbaik? Apa yang sebaiknya dilakuin? Kayanya semua harus berdasarkan kemauan masing-masing pihak. Paling engga, kesadaran dulu deh. Sadar untuk punya lingkungan yang lebih baik. Sadar untuk membentuk lingkungan yang lebih baik. Seandainya semua semudah yang babap bilang, "kaya di singapur, dulunya rakyat yang istilahnya tinggal di pinggir jalan, diungsiin semuanya. dibuatin rumah susuh, buat mereka tinggal. diarahin lahan pekerjaan. akhirnya ya kaya sekarang.." Mungkin babap sotoy, engga tau. Mungkin emang begitu. Dan semua perlu kerja keras dari berbagai pihak. Dan sekali lagi, kesadaran..

No comments: